Persepsi Versus Pengalaman

February 28, 2016


Aku dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang berasal dari Sulawesi. Aku dilahirkan di Ujung Pandang dan sempat menjalani masa kecilku di Kota Soroako. Meskipun demikian, aku tidak dapat mengingat dengan jelas masa kecilku ini, karena aku masih terlalu kecil saat itu. Pada saat aku berusia dua tahun aku mengikuti keluargaku pergi merantau ke Pulau Jawa. Hal ini membuat aku mengalami suatu pengalaman budaya yang aku rasa akan menarik untuk diceritakan.

Bahasa Makassar dan Mandarin seringkali digunakan dalam keluargaku, karena kedua orang tuaku yang merupakan penduduk keturunan Tionghoa yang berasal dari Makassar. Ketika aku masih kecil, aku tidak merasa ada yang aneh dengan hal ini. Aku beranggapan bahwa semua keluarga menggunakan bahasa yang sama seperti keluargaku. Hingga suatu saat, salah satu teman dekatku berkata bahwa logat keluargaku lucu untuk didengar. Aku kemudian baru menyadari bahwa budaya keluargaku dan budaya yang ada di tempat tinggalku saat itu berbeda.

Aku bertumbuh di Kota Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia. Dengan bertumbuhnya lingkungan pertemananku di sekolah, aku semakin terbiasa dengan bahasa dan budaya Jawa. Saking terbiasanya, ketika aku mengunjungi keluarga besarku di Makassar, terkadang aku menggunakan bahasa Jawa untuk berbicara dengan mereka. Anggota keluargaku pun menjadi bingung dan menanyakan arti dari kata yang baru saja aku ucapkan. Alhasil, aku kemudian mengajarkan beberapa kata dalam bahasa Jawa kepada mereka. Sebaliknya pula, mereka terkadang juga mengajarkan beberapa kata dalam bahasa Makassar yang tidak kuketahui. Tidak banyak kosakata bahasa Makassar yang aku mengerti, karena aku tidak menghabiskan banyak waktuku di Makassar. Pertukaran budaya ini membuat kami saling belajar, memahami, serta mengalami budaya satu sama lain.

Aku telah menetap selama kurang lebih dua puluh tahun di Surabaya. Selama menetap di sini, aku tentu terus belajar mengenai bagaimana Surabaya itu. Surabaya terkenal dengan patung ikonik ikan sura dan buaya (dalam bahasa Jawa: baya) yang berasal dari legenda asal mula nama 'Surabaya'. Selain itu Surabaya juga dikenal dengan sebutan kota pahlawan yang didasari oleh perjuangan arek-arek Suroboyo pada saat mempertahakan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Surabaya juga dikenal sebagai kota yang rindang dengan kuliner yang menggiurkan. Namun, Surabaya juga dikenal dengan bahasanya yang terdengar lebih tegas dan kasar. Hal ini telah menjadi stereotip dan juga persepsi banyak orang terhadap Surabaya.

Pada tahun 2014, aku sempat menjalani masa magangku di luar kota yaitu di Solo, Jawa Tengah. Meskipun berada dalam satu pulau yang sama dan juga masih menggunakan bahasa Jawa, namun terasa perbedaan yang jelas antara Solo dan Surabaya. Bahasa Jawa yang digunakan di Solo merupakan bahasa Jawa yang lebih halus dan sopan. Orang Solo seringkali menggunakan basa krama (tingkatan dalam bahasa Jawa yang santun dan sopan) yang dapat disebabkan oleh budaya keraton yang terdapat di Solo. Sedangkan bahasa Jawa Suroboyo-an seringkali menggunakan basa ngoko (tingkatan dalam bahasa Jawa yang tergolong informal). Sebagai orang yang telah lama menetap di Surabaya, aku sudah sangat terbiasa dengan bahasa Suroboyo-an dan tidak menyadari bahwa bahasa tersebut terdengar kasar. Aku baru menyadari bahwa bahasa tersebut terdengar berbeda ketika aku mengalami sendiri budaya yang ada di Solo. Aku dan teman-temanku yang berasal dari Solo seringkali menganggap aksen satu sama lain sangat lucu serta unik.

Bahasa Suroboyo-an mungkin terdengar lebih kasar, namun hal ini tidaklah mencerminkan orang Surabaya itu sendiri. Orang Surabaya telah terbiasa dengan cara berbicara seperti itu, karena mereka telah mengalaminya dalam sebagian besar hidup mereka sebagai budaya yang ada di daerah mereka, bukan karena mereka adalah orang yang kasar. Mungkin orang Surabaya juga dianggap kasar karena perilaku suporter sepak bola Bonek yang terkenal urakan. Perilaku negatif dari sebagian suporter Bonek memang menimbulkan reputasi tersebut yang kemudian menimbulkan generalisasi dalam masyarakat. Namun faktanya tidak semua suporter tersebut kasar, seperti juga tidak semua warga Surabaya merupakan suporter sepak bola. Dari hal ini, kita dapat belajar untuk tidak selalu berpatokan pada stereotip yang ada dan tidak cepat untuk menghakimi sesuatu. Kita sebaiknya berusaha lebih mengenal budaya tersebut dengan mengalami budaya.

Setelah mengunjungi beberapa tempat yang berbeda di Indonesia, aku menyadari bahwa Indonesia ini begitu unik. Setiap kali aku mengunjungi tempat baru, aku merasa seperti berada di suatu tempat yang berbeda, seperti berada di luar negeri. Bahasa yang digunakan berbeda, cara berbicara dan berperilaku yang berbeda, makanan yang berbeda, dan sebagainya. Indonesia dapat dilihat seperti kumpulan negara yang memiliki satu bahasa universal, yaitu bahasa Indonesia. Apabila bahasa Inggris memiliki aksen British; American; maupun Australian, bahasa Indonesia juga memiliki aksen yang bervariasi mulai dari Suroboyo-an; Jakarta; Sulawesi; Batak; Ambon; dan sebagainya. Aku menjadi terkagum-kagum karena sebenarnya kita dapat merasakan sensasi ke luar negeri hanya dengan berkunjung ke daerah-daerah di dalam negeri.

Aku baru benar-benar menyadari keberagaman ini ketika mengalami budaya-budaya tersebut sendiri. Memang secara teori telah dinyatakan bahwa Indonesia memiliki beragam budaya, namun kamu tidak akan benar-benar merasakannya sampai kamu mengalaminya sendiri. Kamu tidak harus menghabiskan uang dengan pergi berwisata, kamu juga dapat mengalami budaya lain melalui berteman dengan mereka yang memiliki budaya yang berbeda. Jangan membuat perbedaan membuat kita menjauh, tetapi buatlah perbedaan menjadikan kita kaya. Mewarnai dengan satu warna tidak akan seindah mewarnai dengan beragam warna yang berbeda. Beragam warna budaya ini yang akan membuat Indonesia menjadi indah dan membuat kita lebih menghargai keberagaman tersebut dan juga masing-masing warna yang ada.

Selamat mengalami budaya lokal!

CN.




Tulisan ini memenangkan juara 3 Gramedia Blogger Competition Februari 2016 :)

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Featured post

2018 Reflection // Why I'm in Love with This Hot Mess Called 2018

Wow, my blog has become dusty and full of spider webs for these past 6 months. I'm really sorry for being gone just like that for ha...

Instagram

Subscribe